Whoosh di Bawah Terik Pengawasan: Proyek Prestisius yang Diselidiki KPK

Penyelidikan KPK atas dugaan korupsi proyek kereta cepat senilai US$7,3 miliar tidak mengganggu operasional layanan, masyarakat diminta tetap tenang

Kereta cepat Whoosh berwarna putih dengan aksen merah melintasi rel di kawasan stasiun dengan latar belakang bangunan dan pepohonan hijau
Kereta cepat Whoosh milik PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) melintasi jalur rel di salah satu stasiun di koridor Jakarta-Bandung. Proyek kereta cepat pertama di Indonesia dan Asia Tenggara ini kini menjadi objek penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dugaan korupsi dalam pembangunannya yang menghabiskan biaya US$7,3 miliar atau sekitar Rp113 triliun. Meski tengah diselidiki, operasional Whoosh tetap berjalan normal melayani ribuan penumpang setiap hari dengan kecepatan operasional hingga 350 kilometer per jam.

JAKARTA – Kereta cepat Whoosh yang sempat menjadi kebanggaan baru Indonesia sejak diluncurkan Oktober 2023, kini harus menghadapi sorotan dari arah yang tidak pernah dibayangkan. Komisi Pemberantasan Korupsi secara resmi membuka penyelidikan atas dugaan korupsi dalam proyek strategis nasional yang menelan biaya US$7,3 miliar atau setara Rp113 triliun ini. Kabar ini langsung menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan masyarakat, mulai dari pengguna transportasi hingga pengamat kebijakan publik.

Meski penyelidikan sudah berjalan, KPK dengan tegas menegaskan bahwa proses hukum ini sama sekali tidak akan mengganggu operasional kereta yang sudah melayani ribuan penumpang setiap hari di rute Jakarta-Bandung. “Silakan masyarakat tetap menggunakan layanan kereta cepat sebagai salah satu moda transportasi. Kami pastikan penyelidikan ini tidak akan berdampak pada pelayanan publik,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, baru-baru ini. Pernyataan ini disampaikan untuk menenangkan kekhawatiran publik yang mulai bermunculan di media sosial dan berbagai forum diskusi.

Sampai saat ini, KPK masih berada di fase penyelidikan, yang merupakan tahap paling awal dalam proses penegakan hukum tindak pidana korupsi. Dalam fase ini, tim penyidik KPK fokus mengumpulkan bukti permulaan yang cukup untuk menentukan apakah benar terjadi tindak pidana yang layak ditingkatkan ke tahap penyidikan. “Kami belum bisa menyampaikan secara detail terkait materi substansinya. Tim masih terus melakukan kegiatan penyelidikan, menelusuri bagaimana peristiwa dan adanya dugaan tindak pidana tersebut,” jelas Budi dengan hati-hati, menghindari spekulasi yang dapat mempengaruhi proses hukum yang sedang berjalan.

KPK juga membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa saja yang memiliki data, dokumen, atau informasi relevan terkait proyek Whoosh untuk datang dan memberikan keterangan. Langkah ini dianggap penting agar proses investigasi dapat berjalan lebih objektif, menyeluruh, dan tidak meninggalkan celah yang dapat dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Budi menekankan bahwa KPK akan menjamin kerahasiaan identitas pelapor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Polemik mengenai proyek Whoosh sebenarnya sudah lama beredar di kalangan pengamat ekonomi dan infrastruktur, namun baru mencuat ke permukaan secara luas setelah pernyataan kontroversial dari Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan di era pemerintahan sebelumnya. Dalam sebuah diskusi publik yang kemudian viral di media sosial, Mahfud mengungkapkan perbandingan biaya yang cukup mengejutkan dan mengundang pertanyaan besar.

Menurut data yang disampaikan Mahfud, biaya pembangunan Whoosh disebutkan mencapai US52 juta per kilometer atau sekitar Rp806 miliar per kilometer dengan kurs saat ini. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pembangunan kereta cepat serupa di Tiongkok yang hanya berkisar US17 hingga 18 juta per kilometer, atau sekitar Rp264 hingga 279 miliar per kilometer. Bahkan jika dibandingkan dengan proyek kereta cepat di negara-negara maju seperti Jepang dan negara-negara Eropa, biaya Whoosh tetap tergolong sangat tinggi.
Selisihnya yang hampir tiga kali lipat ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar dan mendesak mengenai kemana alokasi dana yang begitu besar tersebut mengalir.

Apakah benar terdapat praktik penggelembungan anggaran atau yang dalam istilah hukum disebut mark-up dalam proyek ini, ataukah ada faktor-faktor teknis dan geografis yang memang membuat biaya pembangunan di Indonesia menjadi lebih mahal. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kini menjadi fokus penyelidikan KPK.
Beberapa pengamat infrastruktur mencoba memberikan penjelasan teknis bahwa kondisi geografis Indonesia yang berbeda dengan Tiongkok, termasuk struktur tanah, kebutuhan pembebasan lahan yang lebih kompleks, serta regulasi lingkungan yang berbeda, bisa jadi berkontribusi pada kenaikan biaya. Namun, apakah selisih hingga tiga kali lipat dapat dibenarkan hanya dengan alasan teknis tersebut, masih menjadi perdebatan hangat.

Menghadapi gelombang pemberitaan dan spekulasi publik yang semakin meluas, PT Kereta Cepat Indonesia China atau KCIC sebagai operator langsung memberikan respons resmi. Eva Chairunisa, General Manager Corporate Secretary KCIC, dalam pernyataan tertulisnya menyatakan bahwa pihaknya siap sepenuhnya bekerja sama dengan semua proses hukum yang dijalankan oleh KPK. KCIC mengklaim bahwa seluruh dokumen proyek, mulai dari perencanaan, pengadaan, hingga pelaksanaan konstruksi, tersimpan dengan baik dan siap diserahkan jika diminta oleh penyidik.

“Yang terpenting bagi kami saat ini adalah memastikan bahwa operasional Whoosh tetap berjalan normal dan tidak terganggu. Kami punya tanggung jawab kepada masyarakat untuk terus memberikan pelayanan transportasi yang aman, nyaman, dan tepat waktu,” tegas Eva dalam wawancara dengan beberapa media nasional. Ia juga menekankan bahwa KCIC berkomitmen penuh terhadap transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek.
Menariknya, di tengah badai pemberitaan negatif ini, data internal KCIC justru menunjukkan tren yang cukup positif.

Jumlah penumpang Whoosh terus mengalami peningkatan sejak beroperasi komersial. Pada bulan-bulan awal operasi, rata-rata penumpang harian berkisar 10 hingga 15 ribu orang, namun kini sudah mencapai 20 hingga 25 ribu orang per hari, terutama pada akhir pekan dan hari libur nasional. Tingkat okupansi atau tingkat hunian kursi bahkan mencapai 80 hingga 90 persen pada jam-jam sibuk dan musim liburan.

Hal ini menjadi bukti bahwa meskipun ada isu hukum yang sedang bergulir, kepercayaan masyarakat terhadap layanan kereta cepat ini dari sisi operasional masih cukup tinggi. Banyak penumpang yang mengapresiasi kecepatan perjalanan yang hanya memakan waktu sekitar 45 menit untuk rute Jakarta-Bandung, dibandingkan dengan perjalanan darat biasa yang bisa mencapai 3 hingga 4 jam tergantung kondisi lalu lintas.

Whoosh memang bukan proyek infrastruktur biasa yang dapat disamakan dengan pembangunan jalan tol atau jembatan konvensional. Ini adalah kereta cepat pertama di Indonesia, bahkan di kawasan Asia Tenggara, yang menggunakan teknologi high-speed rail dengan kecepatan operasional mencapai 350 kilometer per jam. Proyek yang mulai direncanakan sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dilanjutkan dan dieksekusi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, dan akhirnya diresmikan pada Oktober 2023 ini, memang menjadi simbol ambisi besar Indonesia dalam modernisasi infrastruktur transportasi nasional.

Sebagai hasil kerja sama bilateral antara Indonesia dan Tiongkok, proyek ini melibatkan konsorsium perusahaan dari kedua negara, termasuk PT Kereta Api Indonesia, PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara VIII dari sisi Indonesia, serta China Railway International Co. Ltd dari sisi Tiongkok. Skema pembiayaannya pun kompleks, melibatkan pinjaman dari China Development Bank sebesar 75 persen dari total biaya proyek, sementara 25 persen sisanya berasal dari ekuitas para pemegang saham.

Namun realita ekonomi di lapangan ternyata tidak sesederhana harapan dan proyeksi awal yang optimis. Berbagai analisis finansial, termasuk laporan yang disampaikan oleh KCIC sendiri kepada para stakeholder dan pemegang saham, menyebutkan bahwa proyek ini baru akan mencapai titik impas atau break-even point dalam waktu 40 hingga 50 tahun ke depan. Ini berarti proyek yang dimulai tahun 2015 dan beroperasi 2023, baru akan balik modal sekitar tahun 2063 hingga 2073.

Rentang waktu yang sangat panjang ini, bahkan melampaui usia satu generasi manusia, tentunya menimbulkan pertanyaan serius tentang kelayakan ekonomi proyek. Beberapa ekonom menilai bahwa dengan masa pengembalian investasi yang begitu panjang, proyek ini lebih tepat dilihat sebagai investasi jangka panjang untuk mendukung konektivitas nasional dan pertumbuhan ekonomi wilayah, bukan sekadar proyek bisnis yang harus cepat menghasilkan profit.
Aspek lain yang juga perlu diperhatikan adalah beban utang yang harus ditanggung. Dengan 75 persen pembiayaan berasal dari pinjaman China Development Bank, KCIC harus membayar cicilan pokok dan bunga setiap tahun dalam jumlah yang tidak sedikit. Jika pendapatan dari penjualan tiket tidak mencukupi untuk menutup biaya operasional dan cicilan utang, maka akan timbul masalah likuiditas yang pada akhirnya dapat membebani keuangan negara.

Di tengah berbagai tantangan ekonomi dan kini masalah hukum yang menghadang, pertanyaan yang beredar di masyarakat bukan hanya seberapa cepat Whoosh dapat melaju di atas rel dengan kecepatan maksimal 350 kilometer per jam, tetapi juga seberapa cepat dan tuntas KPK akan mengurai benang kusut dugaan korupsi yang membelit proyek prestisius ini. Masyarakat menunggu dengan penuh harap akan adanya kejelasan dan transparansi penuh.

Apakah penyelidikan ini akan berujung pada penyidikan dan penetapan tersangka, ataukah akan dihentikan karena tidak cukup bukti, semua masih menjadi tanda tanya besar. Yang pasti, proses hukum harus berjalan sesuai dengan koridor yang benar, objektif, dan tidak terpengaruh oleh tekanan politik maupun kepentingan kelompok tertentu.

Sementara itu, masyarakat pengguna Whoosh tetap dapat menikmati kemudahan dan kecepatan transportasi yang ditawarkan. Bagi mereka yang rutin bepergian Jakarta-Bandung untuk urusan bisnis, pendidikan, atau sekadar wisata akhir pekan, keberadaan Whoosh tetap menjadi pilihan yang menarik meskipun harga tiket yang berkisar Rp150 ribu hingga Rp350 ribu tergantung kelas dan waktu perjalanan masih dianggap cukup mahal oleh sebagian kalangan.

Ke depan, transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci penting bukan hanya untuk menyelesaikan kasus dugaan korupsi ini, tetapi juga untuk memastikan bahwa proyek-proyek strategis nasional lainnya dapat berjalan dengan baik, efisien, d

an memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat luas. Pelajaran dari kasus Whoosh ini seharusnya menjadi evaluasi mendalam bagi pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan mega proyek infrastruktur di masa mendatang.

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Konten dilindungi © Tabir Lentera Nusantara. Dilarang menyalin tanpa izin.
↑ Top